Sabtu, 09 Oktober 2010

RINJANI DALAM KENANGAN

Aku kangen kamu Rin… lesung pipit kamu yang dalam buat mukamu tambah manis kalau tersenyum, guyonanmu yang ceplas-ceplos itu nggak pernah buat orang lain sakit hati, tapi justru membuat tawa yang menjadi-jadi. Entah kapan aku bisa melepas rinduku padamu lagi Rin…
Ada satu hal yang buatku selalu rindu dan ingin selalu ada didekatmu adalah cara pandangmu dalam menjalani kehidupan. Kamu bilang hidup dengan semangat dan motivasi diri bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih banyak bersabar, selalu yakin dan optimis menapaki masa depan.

Aku ingat waktu masih sama-sama kuliah dulu, kampus itu mungkin masih memuseumkan lembaran-lembaran sisa semangat dan perjuangan kita. Perjuangan seorang aktivis perempuan yang berdiri ditengah barisan para Adam dan sibuk meneriakkan keadilan, demokrasi, dan hak asasi. Ahh, sudahlah Rin itu dulu… tapi bagiku, bernostalgia dengan masa itu adalah sesuatu yang menggelitik emosi untuk kembali bangkit ditengah kejenuhan aktivitas kantorku sekarang, terima kasih Srikandiku (sebutanku untukmu, Rin )…

Tidak cuma semangat seorang aktivis, kamu juga tetap punya semangat seorang mahasiswa, yang memang tujuan mulamu menjajal kampus ini. Masalah mengintai, tapi langkahmu sedikitpun tak gontai… Perbaikan skripsi, minim referensi, memperkaya kajian, belum lagi harus keluar-masuk ruangan Pak Wibowo yang membuat telingamu memerah dan keningmu berkerut mendeskripsikan rasa kecewa yang sulit kau luapkan. Dosen pembimbingmu yang wibawanya tidak seperti namanya itu ku pikir adalah sosok yang lebih menyeramkan dari dedemit sekalipun.
Tapi Rin, aku benci setiap kali kamu bilang ini tantangan seorang calon Sarjana muda. Awalnya aku sempat menganggapmu orang yang terlalu munafik untuk berterus terang dengan keadaan ini. Tapi lihat Sarjana muda, bangganya dirimu saat namamu dielu-elukan diatas podium itu sebagai mahasiswa terbaik Universitas, Rinjani Sukma Dewi, namamu memang setinggi semangatmu, sobat…

Kamu masih ingat Mas Seno ? Raga Suseno, laki-laki yang selalu mendapat pujian serba Hebat darimu setiap waktu, laki-laki yang kamu bilang baik, setia, perhatian, penyayang, yang menurutku tidak lebih dari seorang laki-laki brengsek yang tebal muka, mati rasa, tidak tau terima kasih, yang membuatmu terpisah denganku dan pergi dari hari-hariku…
Dengan tenang, perlahan-lahan dia lari dari hidupmu saat seharusnya dia menenangkan hati dan bersama-sama melewati masa-masa sulit yang bertubi-tubi menghakimimu.
Satu per satu kesedihan seolah menjadi tak berujung buatmu,
aku tanya kemana Mas Senomu itu saat pelipur lara hidupmu terbaring kaku di bawah wanginya tanah pusara itu ? Leukemia yang masih tetap coba dilawan oleh ibu hingga penyakit itu pun memvonis hidupnya (selamat tinggal Ibu…).
Apa Mas Senomu itu dimangsa hidup-hidup oleh dunia, saat penopang hidupmu pun tak berdaya melawan rasa kehilangan, hingga hancur bersama botol-botol neraka ? (Bapak dalam kepedihannya…) Bapak yang ku kenal tidak pernah serapuh itu Rin, kehilangan seorang penenang jiwa membuatnya benar-benar terluka hingga luka itu tak sanggup lagi tertahan dan ia pergi selamanya dalam duka.
Mas Seno, Rin ?!? Laki-laki yang lebih memilih bersembunyi dibalik hitamnya langit di hari hujan, ketimbang menjadi sandaranmu untuk masa depan… BIADAB!!!
Tapi, kau tau satu hal sobat ? Mas Seno mu itu sekarang dunianya sudah mati. Perempuan yang lebih dipilihnya daripada kamu Srikandiku, kini membuangnya tidak lebih dari sampah yang sudah membusuk. Aku puas Rin, sangat puas!!! Tak kuasa kutahan emosiku untuk terbahak menatap seorang Raga Suseno yang terpuruk. Sayang kau tak disini dan ikut tertawa bersamaku….

Kedua adikmu Ratna dan Gagah, mereka sudah besar sekarang…. pintar, cerdas, dan tangguh seperti dirimu. Melihat mereka terus tumbuh jadi dewasa membuatku semakin mengingatmu. Bagiku ini amanah yang akan terus ku jaga hingga mereka siap untuk mengangkasa dengan sayap-sayap yang perkasa… Sekarang kami tinggal di Malang, karena tiga bulan setelah lulus dari Universitas aku diterima bekerja sebagai seorang asisten manajer di salah satu perusahaan konsultan di Malang. Yah, lumayan lah Rin, untuk aku yang seorang pemula merasakan peluh yang dulu juga dirasakan oleh orang tuaku demi secercah asa agar anak-anaknya bisa menjadi seorang sarjana…

*****
Aku kangen kamu, Rin…. Sangat rindu candamu, tawamu, menaklukkan dunia bersama. Aku ingin memandang ronamu yang ceria, bukan diam dan muram seperti ini. Semakin lekat ku tatap, semakin tak satupun yang ku dapat, kosong, hampa, senyap… Mukamu begitu bersih, tapi kaku dan aku kehilangan lesung pipitmu yang dalam.
Bicara denganku, Rin !!! Aku Diah Rianti, sahabat yang selalu ingin didekatmu mewujudkan dunia mimpi sejak enam tahun yang lalu… Kenapa kamu pergi saat mimpi itu seharusnya sudah jadi nyata, dan harapan terlanjur melekat dipelupuk
mata ?… Dimana Srikandiku yang selalu bersemangat ? Seorang aktivis yang begitu idealis ? Kembali, Rin ! Kamu adalah Rinjani yang kaki-kakinya begitu kuat menapaki bumi hingga mampu berdiri kokoh, segagah gunung Rinjani.
Ayo mahasiswa terbaik, Sarjana muda, dunia sedang menantangmu diluar sana. Keluar, Rin !!! Aku yakin kamu mampu menaklukkannya !. BANGKIT !!! Berhentilah terdiam dan duduk di sini dalam sepi !…

Dua tahun lebih kamu seperti ini, dipandangi mentari pagi, berteman pipit-pipit kecil yang lincah bernyanyi, berlarian, beterbangan, bahkan kepak sayapnya pun lebih gesit dari matamu yang berkedip. “ Maaf ibu Diah, waktu berkunjung anda sudah habis “. Hah… Perempuan berseragan putih itu lagi-lagi mengingatkan aku untuk berhenti bernostalgia denganmu, Rin. Tidakkah kau jenuh dengan semuanya ini ? Aku sudah jenuh, Rin ! Aku bosan, aku lelah, dan aku sedih melihatmu harus melewati ujian ini sendirian… Tapi kami semua tetap menantimu Rin, aku, adik-adikmu, menunggu kesiapanmu untuk kembali berkumpul ditengah-tengah kami meskipun entah hingga berapa lama lagi.

Maaf tidak bisa terlalu sering menjengukmu disini, pekerjaan kantor menjadikanku manusia robot yang tak lagi kenal waktu, jauh dari orang tua menuntutku untuk lebih mandiri demi sekedar bertahan hidup. Lagipula memang sudah saatnya aku berdiri dengan kakiku sendiri tanpa bergantung lagi dengan orang tua khan, Rin ?.

Aku pamit sobat, sampai bertemu lagi… bulan depan mungkin. Semoga tuhan selalu menjagamu dan secepatnya menyudahi cobaanmu ini, Amin.
“ Anda tidak perlu mengkhawatirkan kondisi ibu Rinjani, bu Diah… Kami akan menjaga dan terus merawatnya dengan baik disini. Lagipula kondisi kejiwaan beliau selama dua bulan terakhir ini menunjukkkan perkembangan ke arah yang lebih baik”, ungkap dokter Darmawan, dokter spesialis kejiwaanmu. “ Terima kasih, dok. Saya titip sahabat saya Rinjani”. “Pasti bu Diah, pasti”.
Percakapan kami terhenti saat langkah kami berada di depan gerbang Rumah Sakit ini. “ Sekali lagi terima kasih, dok. Permisi”.
Keluar dari gedung ini dan meninggalkanmu di dalam sana sebenarnya adalah hal yang begitu berat untuk ku lakukan. Tapi aku harus Rin, aku harus! Semua ini kulakukan demi kesembuhanmu, agar kamu bisa kembali menjadi Rinjani yang dulu… maafkan aku Rin…

*****

Ku balikkan badan dan menatap kembali gedung yang berdiri di belakangku. Sesaat aku tertegun membaca papan yang berdiri tegak di depannya, Rumah Sakit Jiwa Bhakti Bangsa. Aku akan datang lagi suatu hari, bukan untuk menjenguk sahabatku, tapi untuk menjemputnya pulang dan berkumpul lagi bersama kami, keluarganya… Entah kapan… Tapi pasti !!.

0 komentar:

Posting Komentar